FreePaypalCash.com

Jumat, 29 Januari 2010

DPR Setuju Pertukaran Utang dengan Inggris

Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR Paskah Suzetta mengatakan, pada prinsipnya Komisi setuju mengalokasikan dana Rp 675 miliar dalam program pertukaran utang (debt swap) dengan Inggris.

Dana sebesar itu dibutuhkan untuk menukar utang pemerintah US$ 100 juta dengan pengadaan 1.000 bus Mercedes Damri dan Perusahaan Pengangkutan Djakarta. "Kami minta BUMN itu diaudit dulu, karena kinerja keduanya buruk," kata Paskah di Jakarta kemarin.

Komisi, kata Paskah, sudah menulis surat ke pemerintah soal persetujuan alokasi dana tersebut untuk menjawab surat pemerintah, Desember lalu. Hanya, pelaksanaan program itu menunggu pernyataan auditor tentang kelayakan Damri dan PPD untuk menerima bus tersebut.

Program ini sempat tertunda karena pemerintah tak bisa memenuhi tenggat pemasok bus dari Jerman, Daimler-Chrysler, untuk menyediakan dananya Rp 675 miliar. Daimler memberi tenggat pada Senin pekan lalu. Seyogianya, penandatanganan pertukaran utang antara pemerintah dan Inggris itu pun dilakukan kemarin.

Menurut Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia P. Nasution, sudah ada pernyataan dari Daimler tenggat itu diperpanjang. "Syaratnya memang harus ada persetujuan DPR dulu," ujarnya kemarin.

Pemerintah Inggris ataupun Australian-New Zealand Investment Bank, kata Mulia, juga maklum dengan belum adanya persetujuan dari parlemen. Namun, Mulia tak menyebutkan, kapan program itu dimulai setelah diperpanjang.

Keberadaan ANZ Bank di sana sebagai pihak ketiga yang akan membeli utang pemerintah itu sekaligus sebagai pihak yang melaksanakan pengadaan bus. Inggris sudah setuju memberi diskon utang 25 persen. Dengan begitu, pemerintah hanya perlu membayar utang ke ANZ secara mencicil US$ 75 juta yang dikonversi ke rupiah menjadi Rp 675 miliar.

Program ini merupakan kelanjutan dari permintaan penjadwalan pembayaran utang luar negeri pemerintah di forum Paris Club dua tahun lalu. Inggris dan Jerman adalah dua negara yang paling cepat merespons tawaran pertukaran utang dari pemerintah Indonesia.
bagja hidayat




Tugas :
1. Jadikan kasus diatas sebagai latar belakang masalah (Bab I).
2. Untuk Bab II, cari materi tentang SWAPS.
3. Buat kesimpulan untuk Bab III. Isi dari kesimpulan adalah apa inti dari kasus tersebut dan pemecahannya

Rabu, 27 Januari 2010

Menyelami Keunikan Floating Rate Bond

Tedy Fardiansyah Idris
• Akademisi, Praktisi, Pengamat Investasi-Keuangan Dari MM-Keuangan Universitas Bina Nusantara


"Biasanya, tingkat pembayaran kupon/bunga lebih tinggi dari suku bunga deposito dan sering menggunakan konsensus suku bunga antar bank sebagai basis."

"Apa beda saham dengan obligasi?" Pertanyaan ini sering kali saya lemparkan pada mahasiswa pada awal perkuliahan mengenai topik pasar modal. Jawaban yang sering kali muncul: "Kalau saham (stock) membayar dividen, kalau obligasi (bond) membayar bunga tetap".

Jawaban tersebut bisa dibilang benar karena saham memang berpotensi membayar dividen sedangkan obligasi berpotensi membayar bunga (kupon) tetap. Tetapi, jawaban itu bisa juga dikatakan kurang tepat, karena nyatanya belum tentu saham membayar dividen, kalau ternyata perusahaannya merugi sehingga tidak punya dana yang bisa dibayarkan sebagai dividen.

Di sisi lain, bisa saja obligasi tidak membayar bunga tetap, karena ada jenis obligasi yang membayar bunga mengambang. Inilah yang sering terlepas dari pengetahuan kebanyakan orang.

Sekali lagi, tidak semua obligasi membayar bunga tetap. Pembayaran bunga obligasi yang sering disebut dengan obligasi berbunga mengambang (floating rate bond/floaters) akan berfluktuasi mengikuti perkembangan tingkat bunga di pasar.

Biasanya, tingkat pembayaran kupon/bunga (coupon rate) lebih tinggi dari suku bunga deposito dan sering menggunakan konsensus suku bunga antar bank sebagai basis (reference rate), plus atau minus spread tertentu (reference rate (+) atau (-) spread).

Sebagai contoh, misalkan obligasi X dengan nilai pari Rp 1 miliar memiliki tingkat pembayaran bunga sebesar JIBOR (Jakarta Inter Bank Offer Rate) + 100 basis poin (1 basis poin = 0,01%, 100 basis poin = 1%). Pembayaran kupon dilakukan setiap tahun dan akan jatuh tempo 10 tahun.

Ini berarti reference rate obligasi tersebut adalah sebesar tingkat bunga JIBOR dengan spread 1 persen. Karena tingkat bunga JIBOR selalu berfluktuasi, maka besarnya tingkat pembayaran bunga obligasi tersebut juga akan berfluktuasi dengan spread sebesar 1 persen.

Jika saat pembayaran kupon, misalkan tingkat bunga JIBOR adalah 15 persen per tahun, maka tingkat pembayaran kupon obligasi tersebut adalah 16 persen (15% + 1 %) sehingga kupon yang akan dibayar adalah Rp 160 juta (16% x Rp 1 miliar). Sama halnya untuk tingkat pembayaran kupon ke-2,3,4 dan dan seterusnya, akan mengikuti tingkat bunga JIBOR yang berlaku.

Implikasinya, selain tergantung dari tingkat bunga yang berlaku, harga sebuah floater juga akan tergantung dari besarnya spread. Besarnya spread ini juga bisa berubah, tergantung seberapa besar spread yang dibutuhkan pasar.

Mengenai frekuensi dan kapan saatnya tingkat bunga obligasi akan disesuaikan jika terjadi perubahan tingkat bunga pasar ataupun penyesuaiaan spread yang berlaku, tertuang dalam kontrak obligasi yang disebut dengan indenture.

Selain itu, besarnya tingkat pembayaran kupon sebuah floaters sering menggunakan batasan maksimal (Cap) dan batasan minimal (Floor). Artinya, besarnya tingkat pembayaran kupon dibatasi, sehingga tidak akan melebihi Cap dan tidak akan di bawah Floor.

Sepanjang spread yang dibutuhkan pasar tidak berubah serta batas Cap dan Floor tidak tersentuh, harga sebuah floater di pasar tidak akan berbeda jauh terhadap nilai parinya.

Tetapi, jika pasar membutuhkan spread yang lebih besar (kecil), harga pasar dari floater akan di bawah (di atas) nilai parinya. Sementara, jika tingkat pembayaran kupon floater tidak bisa disesuaikan terhadap perubahan reference rate plus spread---karena telah menyentuh Cap (Floor)--- maka harga floater di pasar akan diperdagangkan di bawah (di atas) nilai parinya.

Proteksi

Bagi investor, adanya floor berarti merupakan proteksi jika tingkat bunga pasar turun drastis. Tetapi dengan adanya cap, jika tingkat bunga pasar mengalami kenaikan yang tajam, bunga yang diterima investor pun akan terbatas sebesar cap.

Perlu diketahui, ada pula obligasi yang disebut dengan reverse floater. Dalam hal ini, kupon yang dibayarkan kepada pemegangnya berlawanan dengan pergerakan tingkat bunga di pasar. Pendek kata, kalau tingkat bunga pasar naik, bunga obligasi ini akan turun dan berlaku sebaliknya.

Formula besarnya adalah bunga yang dibayarkan biasanya dinyatakan dengan: Coupon rat = K - [L x reference rate]. K adalah suatu konstanta dan L adalah sebuah multiplier yang telah ditetapkan sejak obligasi pertama kali diterbitkan.

Yang lebih unik, ada lagi obligasi yang disebut dengan step up notes. Dalam hal ini, tingkat bunga yang dibayarkan akan terus meningkat seiring lewatnya waktu. Peningkatan bunga ini bisa terjadi beberapa kali sebelum obligasi jatuh tempo. Misalkan bunga untuk dua tahun pertama adalah 15 persen, bunga untuk 3 tahun berikutnya adalah 16 persen dan seterusnya, sesuai dengan apa yang terdapat di dalam indenture.

Lain lagi yang disebut dengan Non-interest rate index floaters. Dalam hal ini, yang menjadi reference rate bukanlah tingkat bunga di pasar tetapi besarnya bunga yang dibayarkan, yang tergantung pada harga suatu komoditas misalkan harga minyak.

Obligasi jenis ini sering kali digunakan oleh penerbitnya untuk melakukan lindung nilai (hedging) atas harga komoditas yang dijualnya. Misalkan saat harga minyak turun, perusahaan minyak bisa saja mengalami kerugian.

Nah, dengan menerbitkan obligasi yang bunganya mengikuti pergerakan harga minyak, jika harga minyak turun jumlah kupon yang harus dibayarkan kepada investor pun akan menjadi lebih kecil, sehingga tidak akan memberatkan perusahaan.

Masih banyak jenis obligasi yang terkesan unik, yang sayangnya belum bisa kita bahas tuntas dalam edisi kali ini. Munculnya obligasi dengan fitur unik ini terus berkembang seiring dengan semakin maraknya penggunaan obligasi, sebagai cara untuk mendapatkan dana.

Pihak yang menerbitkan obligasi secara kontinu melakukan inovasi-inovasi dengan menawarkan obligasi yang memiliki fitur yang semakin unik dan lebih fleksibel terhadap kondisi keuangannya, sekaligus untuk menarik minat investor.

Tugas :
1. Buat ringkasan dari kasus di atas untuk presentasi, untuk latar belakang masalah tetap pakai kasus di atas
2. Untuk pembahasan cari materi tentang swaps, caps dan floors
3. Untuk penutup, buat kesimpulan dari latar belakang masalah dan pembahasan

Jumat, 22 Januari 2010

Disiplin Pasar Modal

Oleh: A Prasetyantoko
________________________________________
Disiplin mengandung pengawasan dan hukuman. Derajat pengawasan dan hukuman amat menentukan bentuk disiplin, kebiasaan, atau tata kelola secara nyata. Disiplin macam apa yang terjadi pada pasar modal kita?
Ada dua cerita yang bisa dirujuk. Pertama, pernyataan Menteri Keuangan beberapa waktu lalu, ekonomi kita kini sudah menyerupai keadaan sebelum krisis 1997. Maksudnya, aliran modal jangka pendek terlalu besar sehingga bisa menimbulkan gejolak. Kedua, peristiwa aktual dugaan terjadinya kerugian negara akibat transaksi derivatif yang dilakukan manajemen Indosat.
Pada kasus Indosat, meski otoritas pasar modal mencium gejala pelanggaran, namun tak mudah mengidentifikasi pelakunya. Seperti dugaan praktik kecurangan perdagangan saham yang melibatkan informasi orang dalam (insider trading) Perusahaan Gas Negara (PGN) beberapa waktu lalu, penegak hukum tak punya bukti menangkap pelakunya. Setiap kali berhubungan dengan kejahatan finansial, aparat hukum selalu bertemu ruang hampa
"Hedge-fund"
Pada tahun 1999, para menteri keuangan negara maju (G-7) memelopori berdirinya Forum Stabilitas Finansial. Ada dua kejadian yang mendasarinya. Pertama, krisis hebat yang melanda Asia Tenggara (1997) dan Amerika Latin (1998). Kedua, runtuhnya LTCM (long term capital management) yang mengelola dana berjumlah amat signifikan.
Dalam pertemuan di di Essen (Jerman, 10/2/2007), forum ini menegaskan kekhawatiran makin ganasnya risiko instabilitas finansial global. Kesimpulannya, kerisauan hadirnya momok instabilitas finansial bukan monopoli kita. Sayang, para pemegang otoritas di negeri kita justru lebih senang menutupi realitas dengan "sindrom menutupi kenyataan".
Pertanyaannya, siapa sebenarnya "pelaku" yang menimbulkan risiko menakutkan itu? Dan, yang menyedihkan, kita tak pernah tahu "siapa" mereka sebenarnya. Implikasinya, setiap terjadi dugaan kejahatan finansial, pelakunya selalu tak bisa ditangkap. Bahkan, dalam kasus yang relatif kasat mata dan primitif pun, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pelakunya tak bisa ditangkap. Dalam kasus-kasus kejahatan transaksi derivatif, hantunya jauh lebih sakti sehingga meski bergentayangan di sekitar kita, sulit melihatnya apalagi menangkapnya.
Akhir-akhir ini, otoritas finansial di dunia, seperti Federal Reserve, Securities and Exchange Commission (SEC), European Central Bank, dan Bank for International Settlements sedang sibuk memasang kuda-kuda untuk mengawasi sepak terjang para manajer investasi atau yang dikenal dengan istilah hedge-funds. Pasalnya, kehadiran mereka dikhawatirkan memunculkan risiko sistematis terhadap stabilitas finansial global.
Semula, kehadiran mereka dibutuhkan guna melindungi (to hedge) kebijakan keuangan perusahaan dari berbagai risiko, seperti beda nilai tukar, kebijakan suku bunga, fluktuasi nilai pasar dan sebagainya. Dalam perkembangannya, para manajer investasi beralih fungsi dari melindungi menjadi berspekulasi. Berbeda dengan para pengelola keuangan dalam format konvensional, seperti dana pensiun, para manajer investasi dalam transaksi derivatif pada dirinya adalah investor.
Dalam istilah tata kelola klasik, dikenal dua aktor utama, yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola (manajer). Namun, dalam kasus dana investasi ini, seorang manajer juga seorang investor. Jadi, hubungan principal-agency seperti dalam tata kelola klasik tidak berlaku. Begitu pun dalam teknik penggajian. Para manajer investasi tidak mendapat gaji, tetapi bagi hasil dari keuntungan investasi yang dilakukannya.
Risiko sistematis
Kerumitan tata kelola bukan saja terjadi pada tingkat mikro, tetapi juga makro. Banyak pihak mulai khawatir, kian banyak dana yang dikelola hedge-funds, kian tinggi risiko sistematis terhadap stabilitas finansial global.
Selain itu, peningkatan dana dalam transaksi derivatif juga akan diikuti oleh kehilangan kesempatan dalam pendanaan investasi di sektor riil. Jadi, fenomena perpisahan sektor riil dan sektor finansial itu merupakan fenomena global.
Sementara itu, kekhawatiran akan meningkatnya peran manajer investasi dalam konstelasi finansial global cukup beralasan. Pertama, secara kuantitas jumlah hedge fund resmi (tersertifikasi) melonjak pesat. Sebuah lembaga riset, Hedge-fund research Inc. tahun 1999 mencatat, jumlah hedge fund resmi baru mencapai 39, dan menjadi 1.427 (2006).
Kedua, secara kualitas, para pelaku di pasar derivatif ini terdiri dari orang-orang terbaik di bidangnya. Mereka menggunakan metode, teknik, dan perlengkapan pendukung (sistem informasi, software, dan sebagainya) mutakhir dalam mengembangkan investasi alternatif. Teknik kalkulasinya pun supercanggih, melibatkan sarjana-sarjana matematika dan fisika.
Di luar itu, secara karikatural ideologi kaum hedge-funds adalah "mengambil uang dan pergi" (take the money and run). Jadi, meski di atas kertas fungsi mereka melakukan strategi lindung nilai, tetapi dalam praktiknya mereka adalah spekulan ulung.
Mengingat perkembangan ini, urgensi kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan serta hukuman guna membangun sebuah disiplin pasar modal kian terasa. Selain itu, usaha memisahkan aktivitas transaksi derivatif dari dunia perbankan juga mendesak dilakukan. Jangan sampai risiko sistematis yang ditimbulkan perilaku spekulatif dalam transaksi derivatif ini merusak tatanan finansial dan perekonomian, yang akhirnya mengacaukan "neraca rumah tangga" kita.


Tugas :
1. Buatlah ringkasan dari kasus di atas untuk presentasi, untuk makalah bahan ambil semua dari kasus diatas.
2. Tambahkan materi kontrak forward untuk makalah

Rabu, 20 Januari 2010

Dari Bank Duta Hingga Citic

Inilah Sejumlah Kasus Transaksi Derivatif Yang Pernah Menyita Perhatian Publik :

Kasus yang timbul akibat transaksi derivatif valuta asing bukan kali ini saja terjadi. Dua tahun lalu PT Indosat Tbk. juga tersandung transaksi ini, setelah Drajad W. Wibowo, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR-RI menyoalnya. Drajad menengarai Indosat mengalami kerugian hingga 653 miliar rupiah akibat transaksi derivatif yang dilakukan selama tiga tahun.
Tudingan Drajad terutama didasarkan pada laporan keuangan Indosat 2007, yang salah satu komponennya menunjukan kerugian dari transaksi derivatif. Tudingan terhadap Indosat itu, belakangan dianggap oleh pemerintah sebagai bukan transaksi derivatif. Kasusnya selesai meskipun faktanya Indosat memang menerbitkan obligasi (surat utang) dalam bentuk dolar masing-masing 300 juta dollar AS dan 250 juta dollar AS.
Bunga dari obligasi itulah dibayarkan dalam bentuk dolar dan besarnya tetap (fixed). Indosat juga memiliki fasilitas kredit ekspor dari Finlandia sebesar 34 juta dolar AS. Indosat juga diketahui memasuki kontrak interest rate swaps dan cross currency swaps. Nilai nominal dari kontrak tersebut pada akhir Desember 2006 mencapai 400 juta dollar AS atau sekitar 68,5 persen dari total kewajiban dolar Indosat.
Jauh sebelum Indosat, beberapa bank juga pernah terbelit persoalan transaksi ini. Yang terbesar dan menghebohkan adalah skandal transaksi valuta asing yang melibatkan Bank Exim pada 1998. Bank itu limbung setelah mengalami kerugian akibat transaksi hingga 6,64 triliun rupiah.
Sebelum kekalahan itu terbongkar, Bank Exim memang dikenal banyak mengambil keuntungan dari perbedaan suku bunga antara suku bunga rupiah dengan bunga pergerakan kurs. Polanya, bank itu meminjam dana dalam bentuk dolar Amerika tanpa di-hedging (lindung nilai). Dana itu lalu dipinjamkan kembali dalam bentuk rupiah dengan bunga cukup tinggi di pasar uang antar bank.
Katakanlah pergerakan kurs berkisar 5-6 persen (saat sebelum krismon 1998), dan sementara suku bunga rupiah bergerak pada kisaran 17 persen, maka Bank Exim akan menangguk selisih bunga hingga 12 persen. Mei 1997, bank itu kembali melakukan pola yang sama dengan mengikat kontrak forward sebesar 2.725 rupiah untuk 1 dollar AS.
Nilainya mencapai 2,16 miliar dollar AS atau 15 kali lipat melampaui ketentuan yang dibolehkan otoritas moneter. Mengantongi ekuitas 1,5 triliun rupiah, dengan ketentuan itu Bank Exim sebetulnya hanya bisa melakukan transaksi derivatif sekitar 350 miliar rupiah.
Bank Duta
Singkat cerita dengan kontrak itu, berarti Bank Exim akan menyerahkan dolarnya (short position) dengan harga yang sudah dipatok rata-rata 2.725 rupiah. Dua bulan kemudian badai krismon menghantam Indonesia dan berujung pada melambungnya nilai dolar. Hingga Agustus 1997, bank itu sebetulnya sudah berpotensi rugi 150 miliar namun belum dilakukan langkah pencegahan. Tak juga melakukan lindung nilai itu.
Puncaknya terjadi pada Desember, ketika harga dolar sudah mencapai 3.191 rupiah. Saat itu potensi kerugian Bank Exim sudah menggelembung hingga 6,64 triliun rupiah. Kasus itu terbongkar setelah ada dalam laporan keuangannya kepada Bank Indonesia, neraca Bank Exim terlihat bersih. Padahal dalam off balance sheet atau neraca yang tidak dilaporkan, keuangan Bank Exim tidak mencantumkan kewajiban membayar 2,16 miliar dolar AS.
Skandal menghebohkan di ujung 1998 itu belakangan menyeret Hedi Rahadi Salmun, Direktur Sindikasi dan Jasa Keuangan Bank Exim dan Saleh Azis, Kepala Biro Pengelolaan Dana Bank Exim ke sel tahanan. Bank Exim kemudian dilebur ke dalam Bank Mandiri, bersama antara lain Bank Bumi Daya.
Bank lain yang juga pernah kolaps akibat transaksi derivatif adalah Bank Duta. Pada kuartal terakhir 1990, bank itu terhuyung-huyung karena kalah bermain valas sebesar 417 dollar AS. Sama dengan Bank Duta saat itu mengikat transaksinya melalui delapan bank. Salah satunya melalui National Bank of Kuwait cabang Singapura.
Diketahui kemudian, Bank Duta dinilai salah mengambil posisi karena membuat kontrak forward lewat mata uang Jerman dengan valas dolar AS. Kasus ini bukan hanya menyebabkan Dicky Iskandar Di Nata (Direktur Utama Bank Duta) dipecat dari jabatannya, melainkan juga membuatnya mendekam di penjara.
Kasus yang lebih kecil pernah terjadi antara Bank Subentra dan Bank Internasional Indonesia (BII). Dua bank ini sempat bersengketa, setelah transaksi valas yang dilakukan keduanya pada 1997. Oleh BII, Bank Subentra dinilai cidera janji memenuhi tagihan 97,9 miliar rupiah setelah mengikat transaksi valas dengan BII.
Alasan penolakan Bank Subentra, karena mereka menilai BII tak memenuhi sejumlah syarat. Antara lain syarat-syarat dan ketentuan umum mengenai opsi pertukaran valas. Merasa dipermainkan, manajemen BII lalu mengadukan kasus ke polisi. Herutomo, Direktur Treasury Subentra sempat diperiksa polisi.
Kasus yang relatif baru menimpa Citic Pacific Ltd. Hong Kong. Perusahaan baja dan properti itu menelan kerugian setelah melakukan spekulasi terhadap dolar Australia. Perusahaan ini memperkirakan dolar Australia akan menguat terhadap dolar Amerika.
Kontraknya diteken pada 7 September 2009. Namun sekitar 40 hari kemudian, Citic sudah mengumumkan kerugian akibat transaksi itu. Dari kerugian 2,4 miliar dola AS yang diumumkan, kerugian Citic karena bertaruh di mata uang Negeri Kanguru itu diperkirakan mencapai 2,2 miliar AS.
Dikutip sepenuhnya dari Koran Jakarta, 5 April 2009

Tugas :
1. Cerita di atas jadikan sebagai pendahuluan (latar belakang masalah).
2. Permasalahannya adalah :
a. Bagaimana penerapan hedging kontrak forward agar kerugian atas transaksi valuta asing dapat diminimalkan?
b. Apa manfaat dari penerapan hedging kontrak bagi perusahaan?
3. Cari materi tentang hedging.

Rabu, 13 Januari 2010

Menarik pelajaran dari kasus jatuhnya Enron

Dikirimkan pada Thursday, 07 Mar 2002 Oleh
Anonymous writes "Enron sebagai perusahaan raksasa ke-7 dalam ukuran nilai pasar, terbesar di bidang energi dan perdagangan energi yang listed di NYSE, mencatat pertumbuhan penjualan dari US$31 miliar dari 1988 meningkat jadi $100 miliar pada 2000. Nilai pasar meningkat US$50 miliar dalam empat tahun terakhir, namun secara mengejutkan pada 2 Desember 2001 dinyatakan pailit. Beberapa faktor kritikal penyebab jatuhnya Enron adalah:
Pertama, masalah kepentingan pemegang saham mayoritas dan manajemen. Transaksi dengan pihak beberapa perusahaan afiliasi yang dijabat oleh para eksekutif Enron (Jeff Skilling, Andy Fastow), yaitu LJM partnerships, selain mengandung conflict of interest juga tidak secara jelas dan lengkap di ungkapkan dalam laporan keuangan Enron (off balancesheet). Ini dibuktikan dengan pengumuman kerugian pada 16 Oktober 2001 sebesar $618 juta oleh Ken Lay sebagai CEO Enron.

Konsekwensinya, Enron harus menurunkan nilai ekuitas sebesar US$1,2 miliar, dan lembaga rating Moody akhirnya menurunkan peringkat hutang Enron menjadi di bawah investment grade.
Pada 8 November 2001, Enron melakukan penyajian kembali laba berlaku surut 4.3/4 tahun yang lalu untuk mengkonsolidasikan tiga perusahaan lain yang semestinya dikonsolidasikan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, dan ini mengakibatkan penurunan laba yang dikonsolidasikan sebesar US$600 juta.
Tidak jelas apa maksud dan tujuan transaksi derivatif dengan perusahaan terafiliasi tersebut: Apakah untuk menggeser/meminimumkan risiko kontrak berjangka perdagangan energi (dan komoditas lain) dengan penyerahan kemudian (forward contract)? Menurut Andy Fastow, LJM partnership adalah country party transaksi derivatif yang digunakan Enron untuk melepas (strip out) risiko fluktuasi harga, tingkat bunga, dll.
Bila ini benar, adalah prosedur dan sistem pengendalian internal Enron untuk memonitor dan mencegah risk exposure transaksi derivatif yang berlebihan (excessive), sehingga tidak membahayakan kelangsungan hidup perusahaan?
Persyaratan kewajiban manajemen untuk menyusun prosedur dan pengendalian transaksi derivatif tersebut diatur dalam GAAP (Standar Akuntansi Keuangan di Amerika Serikat), sedangkan di Indonesia diatur dalam PSAK 55: Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai. Bila prosedur pengendalian tersebut ada, tapi dilanggar oleh manajemen, apakah direktur independen, komite audit, auditor eksternal yang merupakan salah satu dari Big Five Accounting Firm, tidak dapat menditeksi adanya "keanehan" bahwa transaksi dengan perusahaan terafiliasi tersebut memang benar mempunyai makna ekonomi sehingga ada alasan pembenaran untuk melakukan transaksi tersebut? Mengapa baru terungkap pada saat terakhir sebelum Enron pailit? Ataukah mereka tidak memahami secara detil struktural dan kompleksitas transaksi derivatif pada divisi perdagangan Enron yang memberikan kontribusi 80% laba perseroan? Atau untuk tujuan penggelembungan laba/perekayasa kinerja keuangan Enron?
Dugaan tersebut berdasarkan alasan munculnya bukti pengakuan kerugian yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi seperti yang dilakukan direksi Enron yang terus-menerus melaporkan kinerja tinggi guna memacu meningkatnya nilai pasar perseroan, sehingga dalam jangka waktu sekitar empat tahun nilai pasar naik sebesar $50 miliar.
Kedua, pemberian opsi saham (stock option plan) yang masif. Selama ini penelitian mengenai stock option untuk karyawan kunci dengan sistem insentif tertentu yang sesuai dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan meningkatkan nilai pasar perusahaan.
Kasus Enron dengan ciri pemberian opsi saham secara masif tidak hanya kepada karyawan kunci, bahkan komite audit, karyawan bisa, serta program pensiun karyawan juga diberikan dalam beberapa alternatif, antara lain pensiun dengan memperoleh opsi saham perusahaan.
Dengan opsi saham semacam itu, setiap individu dalam perusahaan menjadi serba salah bila berusaha mengungkapkan ketidakberesan praktik/transaksi perusahaan yang dapat mengakibatkan anjloknya harga sahamnya. Karena akan merugikan tidak hanya pemegang saham mayoritas, tetapi hampir seluruh karyawan Enron dan dan pensiunannya. Bagi pejabat kunci dan anggota komite audit, selain menimbulkan benturan kepentingan untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi, atau memilih diam saja (moral hazard) semata-mata menjadi "anak baik" di mata manajemen dan sekaligus mengamankan nilai saham dari opsi yang menjadi haknya masing-masing.
Ketiga, penjualan saham dalam skala besar oleh pihak orang dalam. Jeff Skilling, CEO Enron sebelum mengundurkan diri pada Agustus 2001, menjual sahamnya dalam jumlah besar dengan kisaran harga US$80 per lembar, dan pada saat sebelum pengunduran dirinya, harga saham Enron anjlok menjadi US$40 per lembar (sekarang US$0,55/lembar).
Banyak dispekulasikan bahwa sebagai CEO saat itu, Skilling yang mantan konsultan McKinsey, sangat mungkin mengetahui jatuhnya harga saham Enron akan menimbulkan risiko besar terhadap LJM partnership. Di samping itu, pejabat dan termasuk tiga anggota komite audit Enron telah menjual 17,3 juta saham senilai US$1,9 miliar, di mana pada saat yang bersamaan menerbitkan laporan keuangan yang menyesatkan (Lavelle, Business Week).
Di sinilah berlaku signaling dalam teori informasi asimetris, bahwa penjualan saham dan pengunduran diri Skilling yang terkesan mendadak dan tidak adanya penjelasan yang transparan dari perusahaan merupakan pertanda negatif bagi pelaku pasar dan pemodal. Selain itu, penjualan saham besar-besaran oleh orang dalam Enron lainnya juga merupakan pertanda buruk dalam menilai prospek perusahaan.

Rekayasa keuangan
Menilik kasus Enron, sebenarnya dapat diringkas sbb:
Pertama, pemegang saham mayoritas dan direksi Enron merekayasa laporan keuangan melalui LJM partnership sebagai special purpose vehical untuk menaikkan laba, nilai pasar, dan secara sengaja tidak mencatat kewajiban dengan cara off balancesheet.
Kedua, dengan memberikan stock option secara masif, menimbulkan perbenturan kepentingan tidak hanya antara pemegang saham mayoritas dan direksi dengan pemodal publik kreditur, tetapi lingkup benturan tersebut menjadi semakin terpolarisasi, yaitu benturan kepentingan pemegang saham mayoritas, direksi komite audit, karyawan yang secara langsung mempunyai kepentingan dengan nilai opsi sahamnya di satu pihak, dengan kepentingan pemodal publik, kreditur dan dana pensiun perusahaan di pihak lain.
Dampak negatif opsi saham secara masif tersebut adalah menjadikan direktur independen, komite audit independen, manajer profesional terpaksa harus mensubordinasikan tugas dan tanggungjawabnya demi melakukan 'perlindungan' harga saham yang merupakan kepentingan mereka bersama sehubungan dengan hak opsi saham masing-masing dengan cara 'menutup-nutupi' kecurangan yang telah terjadi.
Ketiga, profesi akuntan publik sebagai profesional pembeli jasa audit dipertanyakan (kalau tidak dapat dikatakan dipertaruhkan) kepercayaannya oleh pemodal publik dan kreditur. Keempat, skandal Enron hanya menguntungkan segelintir orang yang oportunistik, yaitu pemegang saham mayoritas, direksi, komite audit, dan manajer kunci dengan mengorbankan ribuan karyawan, dana pensiun perusahaan, pemodal publik dan kreditur.

Cegah di Indonesia
Menarik dari pelajaran amat berharga dari kasus Enron, kepada semua pihak yang berkepentingan, antara lain emiten, direksi, dewan komisaris, komite audit, otoritas pasar modal, profesi penunjang pasar modal. Khususnya profesi akuntan publik sebagai auditor eksternal harus secepatnya meningkatkan profesionalismenya, antara lain pengetahuan di bidang instrumen derivatif dan lindung nilai (hedging), penyusunan sistem dan prosedur pengendaliannya sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, serta implementasi praktik good corporate governance.
Eksistensi pasar modal sebagai financial subsystem dapat memberikan nilai tambah bagi sistem perekonomian secara keseluruhan dalam pengalokasian modal secara efisien, transparan dan adil bila diukur dari hubungan tingkat risiko dengan imbalan investasinya, tanpa harus mengorbankan kepentingan pemodal publik, kreditur dan pelaku pasar modal lainnya. Akhirnya diharapkan dapat memberikan iklim yang kondusif bagi perkembangan pasar modal dalam jangka panjang.

Selasa, 12 Januari 2010

PERDAGANGAN DERIVATIF:
Menguntungkan atau merugikan?
Oleh: Muhamad Nahdi
Latar Belakang
Pengertian Derivatif (derivatives) secara umum adalah sebuah instrumen keuangan (financial instrument) yang nilainya diturunkan atau didasarkan pada nilai dari aktiva, instrument, atau komoditas yang lain. Definisi ini bisa didapat di berbagai situs di internet maupun buku-buku teks. Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa derivative hanya ada kalau aktiva, instrumen, atau komoditas lain sebagai instrumen utamanya ada. Contoh dari derivatif adalah opsi right.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan contoh sebagai berikut: ada seorang pengusaha impor kopi yang bisa membeli opsi right dengan harga tertentu untuk membeli kopi dari Brasil dengan kurs yang sudah ditetapkan sebelumnya, misal Rp9.500/USD, yang akan dibayarkan 6 bulan kemudian. Opsi ini bisa dieksekusi atau tidak tergantung dari situasi yang dihadapi pengusaha tersebut 6 bulan kemudian. Kalau kurs pada waktu 6 bulan kemudian ternyata Rp8.500/USD, maka akan lebih menguntungkan bagi pengusaha tersebut untuk tidak mengeksekusi opsi right-nya karena kurs pasar lebih murah. Namun, pengusaha tersebut menderita kerugian karena telah mengeluarkan uang untuk membeli opsi right 6 bulan sebelumnya. Sedangkan apabila sebaliknya yang terjadi, misal kurs 6 bulan kemudian adalah 1 USD=Rp 10.500, maka pengusaha tersebut bisa mengeksekusi opsi right yang dimilikinya karena kurs opsi lebih murah.
Selain pengertian derivative, ada satu istilah yang berkaitan erat dengan derivative yaitu “manajemen risiko”. Manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai proses keseluruhan untuk mengidentifikasi, mengendalikan, dan meminimalkan pengaruh dari ketidakpastian suatu kejadian. Tujuan dari manajemen risiko adalah untuk mengurangi risiko yang dihadapi oleh suatu perusahaan dan untuk meminimalkan kerugian Keuangan (financial losses) yang mungkin timbul akibat suatu transaksi bisnis. Jika dikaitkan dengan contoh di atas, maka bisa dikatakan bahwa pengusaha tersebut berusaha meminimalkan kerugian akibat fluktuasi kurs dengan membeli opsi right. Kerugian maksimal yang mungkin ditanggung oleh pengusaha tersebut adalah sejumlah harga opsi right-nya yaitu dalam situasi kurs Rupiah menguat.
Banyak perusahaan, khususnya di dunia perbankan, yang bangkrut atau mengalami kesulitan Keuangan akibat melakukan transaksi dengan menggunakan instrument derivative. Kasus yang paling terkenal mungkin adalah bangkrutnya bank dagang tertua di Inggris, Barings, pada tahun 1995. Bank Barings dinyatakan bangkrut setelah ekuitasnya gagal menutupi kerugian sejumlah USD 1 milyar akibat perdagangan derivative yang dilakukan oleh salah seorang pegawainya, Nick Leeson. Kasus lainnya adalah krisis Keuangan yang dialami oleh National Australian Bank (NAB) pada Januari 2004 yang juga diakibatkan oleh transaksi derivative yang tidak bijak. Menurut sebuah laporan independent dari PriceWaterhouseCoopers (PwC) tentang kasus tersebut, kerugian yang diderita oleh NAB akibat transaksi derivative antara September 2003 sampai Januari 2004 mencapai USD 360 juta.
Berdasarkan hal tersebut di atas, timbul beberapa pertanyaan yang mungkin mengusik para pemain di pasar uang mengenai perdagangan derivative:
1. Apakah perdagangan derivative menguntungkan atau merugikan bagi perusahaan?
2. Masih bermanfaatkah penggunaan derivative oleh perusahaan sebagai bagian dari manajemen risiko?
Kedua pertanyaan mendasar ini perlu dicarikan jawabannya karena dengan mulai ramainya perdagangan derivative, para pemain di pasar derivative harus lebih berhati-hati dan me.
Solusi
Para pakar Keuangan terpecah menjadi dua dalam hal perdagangan derivative. Beberapa mengatakan bahwa perdagangan derivative berguna dan menguntungkan pemegang saham, namun ada pula yang masih mempertanyakan manfaat dari perdagangan derivative.
Walmsley (1998) percaya bahwa paling tidak ada empat kegunaan derivative yaitu: pengalihan risiko (risk tansfer), peningkatan likuiditas (liquidity improvement), penciptaan kredit (credit creation), dan penciptaan ekuitas (equity creation). Dengan menggunakan derivative maka investor atau pengusaha dapat mengalihkan risiko keuangannya karena mereka telah melindungi diri dari ketidakpastian (hedging the risk). Karena derivative dapat dengan mudah diperdagangkan di pasar uang, maka derivative dipercaya sebagai instrument yang likuid (mudah cair) karena investor atau pengusaha dapat meng-uang-kan derivative di pasar uang dengan relative cepat di kala mereka membutuhkan uang. Derivatif juga dapat menciptakan kredit dan ekuitas karena instrument derivative memperluas sumber kredit dan ekuitas dengan menciptakan jenis kredit dan ekuitas yang baru. Walmsley menegaskan bahwa manfaat penciptaan kredit dan ekuitas ini timbul karena investor dan pengusaha memiliki lebih banyak instrument Keuangan yang bisa dipilih.
Meskipun Walmsley mengakui bahwa ada juga kelemahan dari derivative, seperti bisa menimbulkan ketidakstabilan, tapi Walmsley berkesimpulan: “On balance, however, the innovations that have been made are almost certainly beneficial for the system as a whole” yang terjemahannya kurang lebih adalah bahwa secara umum derivative yang ada sebagai inovasi instrument Keuangan dapat dipastikan akan menguntungkan untuk sistem (keuangan) secara keseluruhan.
Karimova (2002) juga sependapat dengan Walmsley tentang manfaat derivative. Menurutnya tujuan utama dari derivative adalah untuk melindungi perusahaan dalam melakukan transaksi bisnis. Tujuan yang diungkapkan oleh Karimova ini dikenal dengan istilah pemagaran (hedging). Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa perusahaan yang menggunakan hedging dalam melakukan transaksi bisnisnya akan memiliki nilai pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan atau berhenti menggunakan hedging.
Di sisi lain, Stout (1996) masih meragukan manfaat perdagangan derivative. Menurutnya perdagangan spekulatif derivative bisa sangat merusak bagi investor dan pemegang saham karena dapat mengikis laba perusahaan dengan cepat. Stout menjelaskan bahwa: “disagreement-based trading in derivatives, like gambling, is a negative-sum game that erodes the wealth and increases the risks of the average player who indulges in it” yang terjemahan bebasnya adalah bahwa ketidaksetujuan atas perdagangan derivative, seperti halnya atas perjudian, adalah adanya negative-sum game (yaitu suatu permainan dimana tidak ada satu pihak pun yang menang) yang akan mengikis kekayaan perusahaan sekaligus meningkatkan risiko keuangan bagi pemain yang terlibat di dalamnya.
Stout juga berpendapat bahwa perdagangan spekulatif derivative adalah lebih berbahaya daripada perjudian karena para pemainnya menempatkan jumlah uang yang besar untuk dipertaruhkan dimana uang tersebut adalah bukan milik para pemain melainkan milik pihak ketiga seperti dana pension, pemegang deposito, dan pemegang saham. Dalam situasi ekonomi seperti ini, para pelaku di pasar derivative dihadapkan pada tingginya tingkat ketidakpastian yang dapat membawa kehancuran pada karir mereka dan perusahaan. Oleh karenanya, Stout tetap meragukan apakah pasar derivative yang berkembang dengan pesat ini adalah pasar asuransi ataukah perjudian.
Evaluasi Solusi
Dengan mendasarkan pada argumentasi antara yang pro dan kontra terhadap perdagangan derivative, bisa ditarik kesimpulan bahwa saat ini paling tidak ada dua tujuan utama dari perdagangan derivative yaitu perlindungan (hedging) dan spekulasi.
Penulis percaya bahwa pada awalnya derivative timbul dengan tujuan untuk melindungi perusahaan dari ketidakpastian atau fluktuasi ekonomi akibat dilakukannya transaksi bisnis. Dengan kata lain, tujuan utama derivative pada awalnya adalah untuk hedging. Hal ini berarti perusahaan dapat mengurangi risiko dari transaksi bisnis dengan mematok hal-hal tertentu (benchmark) seperti kurs sehingga jika suatu saat nanti terjadi fluktuasi yang tajam atas benchmark (misalnya kurs) kondisi Keuangan perusahaan akan tetap stabil karena telah dipatok sebelumnya. Oleh karenanya perusahaan dapat memfokuskan sumber dayanya untuk aktivitas lain yang lebih berguna daripada sekadar berkonsentrasi mengawasi fluktuasi benchmark.
Krisis ekonomi di dunia, khususnya di Indonesia, tahun 1997 memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi para pelaku ekonomi tentang kebijakan hedging. Di saat kurs rupiah terhadap USD terjun bebas dari sekitar 1 USD=Rp2.500 ke 1 USD=Rp 11.000 – Rp15.000, banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki hutang luar negeri dalam bentuk USD mengalami krisis keuangan karena nilai hutangnya melonjak hingga 6 kali lipat sehingga jumlah bunga yang harus dibayar membengkak. Sementara itu, perusahaan yang melakukan hedging atas kurs hutang luar negerinya selamat karena mereka tidak perlu membayar bunga hutang dengan kurs pasar saat itu melainkan cukup membayar bunga sesuai dengan kurs yang telah disepakati pada saat transaksi hedging sebelum terjadinya krisis.
Di sisi lain dapat dilihat bahwa saat ini tidak sedikit pemain di pasar uang yang melakukan perdagangan derivative dengan tujuan untuk mencari keuntungan yang luar biasa besar dalam jangka waktu yang pendek (spekulasi). Perusahaan yang melakukan spekulasi di perdagangan derivative bisa saja meraih keuntungan yang luar biasa besar dalam waktu yang singkat, seperti halnya yang terjadi pada Bank Barings sebelum bangkrut. Namun, perusahaan juga bisa mengalami kerugian yang sangat besar dalam waktu yang singkat akibat berspekulasi di pasar derivative. Dengan kata lain, uang yang berasal dari perdagangan derivative adalah “easy come, easy go” sama halnya seperti dalam perjudian.
Selain itu, seringkali perusahaan tidak mengungkapkan hal ini kepada pemegang saham karena pada saat perusahaan menangguk keuntungan yang besar dari perdagangan spekulatif derivative biasanya pemegang saham tidak menanyakan atau tidak perduli dari mana datangnya keuntungan besar tersebut. Pemegang saham biasanya baru menyadari adanya perdagangan spekulatif derivative yang berisiko besar jika perusahaannya menanggung rugi akibat perdagangan derivative tersebut.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perdagangan derivative untuk tujuan perlindungan (hedging) sebaiknya diterapkan oleh perusahaan sebagai strategi manajemen risiko dalam situasi ekonomi yang diliputi ketidakpastian sehingga dapat terhindar dari kerugian keuangan akibat fluktuasi ekonomi yang terjadi. Meskipun ada biaya yang harus dibayar oleh perusahaan untuk melakukan hedging, namun adanya kepastian yang ditimbulkan oleh hedging akan membuat perusahaan bisa beroperasi dengan lebih efektif.
Sebaliknya, perdagangan spekulatif derivative dalam situasi ekonomi yang tidak pasti bukanlah langkah yang bijak bagi perusahaan karena risiko yang dihadapi cukup besar. Manajemen perusahaan juga harus menyadari bahwa uang yang digunakan untuk berspekulasi di pasar derivatif bukanlah uang mereka melainkan uang milik pemegang saham.
Dalam situasi ekonomi yang stabil, strategi hedging tetap bisa diterapkan oleh perusahaan untuk berjaga-jaga seandainya terjadi ketidakstabilan moneter di luar perkiraan para ekonom dan pelaku pasar uang. Jika perusahaan merasa bahwa situasi ekonomi cukup aman untuk melakukan perdagangan spekulatif derivative maka kebijakan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tetap harus memperhitungkan risiko terburuk sehingga bila terjadi kerugian tidak akan mengganggu kestabilan keuangan perusahaan. Untuk itu, jumlah uang yang akan “dimainkan” di pasar derivative dengan tujuan spekulasi harus dijaga seminimal mungkin.
Sebagai penutup akan penulis kutipkan pendapat, atau tepatnya ramalan, Walmsley (1998) mengenai timbulnya berbagai jenis instrument keuangan yang baru: “There will be financial disaster in the future because of the unwise use of financial innovations” yang terjemahannya kurang lebih: “Akan terjadi bencana keuangan di masa depan yang diakibatkan oleh penggunaan instrument keuangan yang tidak bijak”.
FreePaypalCash.com